3 Mei 2014
Orang yang tinggal di kampung
tentunya tak asing dengan acara hajatan. Pada dasarnya, hajatan adalah
pesta, perayaan atau syukuran terhadap suatu moment yang jarang terjadi
seperti pernikahan dan sunatan. Sudah menjadi tradisi kalau ada anggota
keluarga yang mau nikah atau sunatan lantas keluarga tersebut mengadakan
hajatan, walaupun tidak wajib namun jika tidak melaksanakan terasa
belum lengkap.
Di kampung saya di daerah Majalengka
pun sering dijumpai acara hajatan. Biasanya, masyarakat lokal percaya
jika ingin mengadakan acara hajatan haruslah dilaksanakan pada
bulan-bulan tertentu yang diyakini baik dibandingkan bulan yang lain.
Adanya kepercayaan terhadap bulan yang baik itu menyebabkan kadangkala
dalam satu waktu atau bulan yang sama ada banyak orang yang
menyelenggarakan hajatan, sehingga dalam situasi seperti ini tidak
jarang membuat warga menjadi pusing karena banyak dana dan beras yang
harus dikeluarkan sebagai bentuk sumbangan, Sangat unik menurut saya.
Walau sebenarnya menyumbang
(kondangan) pada acara hajatan itu tidak wajib namun bagi masyarakat
lokal (pedesaan) hal itu adalah tindakan setengah wajib karena kalau
tidak menyumbang maka akan menimbulkan rasa tidak enak atau malu ketika
bertemu dengan si empunya hajatan. Kadang-kadang pengeluaran untuk
keperluan kondangan lebih besar dari pengeluaran untuk keperluan
sehari-hari, kalau sudah seperti ini maka berlaku idiom “beban sosial
lebih besar dari beban ekonomi”.
Dalam acara hajatan tentunya ada
orang-orang yang bekerja dan memiliki peran penting untuk menyukseskan
acara tersebut dan di kampung saya mereka disebut sebagai glidig. Mereka ini (glidig)
merupakan orang-orang yang bertugas pada urusan dapur dan konsumsi,
dari mulai memasak, menghidangkan makanan sampai mencuci piring. Pada
umumya posisi sebagai glidig dipercayakan kepada orang yang telah biasa melakoni pekerjaan tersebut sebelumnya alias orang yang sudah berpengalaman.
Inilah contoh seorang glidig saat acara hajatan:
0 komentar:
Posting Komentar